Senin, 30 Agustus 2010

metode berfikir sang proklamator

Politik

Indonesia adalah Bung Karno, dan Bung Karno adalah Indonesia. Mungkin kalimat tersebut terdengar terlalu ekstrem, tetapi itulah kebenaran. Berkunjunglah ke mancanagara, sembarang negara. Ketika mereka bingung membayangkan letak Indonesia dalam petan dunia, katakan padanya nama Soekarno, maka pertanyaan akan terhenti, karena dianggap sudah menjelaskan semuanya.

Gambaran tersebut untuk menunjukkan, betapa kuncinya Sukarno dalam eksistensi negara Indonesia, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang. Ratusan tahun bangsa-bangsa di Nusantara ini berjuang membangun identitas satu negara tidak berhasil. Gajah Mada nama besar dalam sejarah, bercita-cita tinggi menyatukan Nusantara, tetapi gagal total, bahkan menciptakan perang saudara antara Majahit dengan Pajajaran yang lukanya masih ada sampai sekarang.

Tetapi Bung Karno berhasil mewujudkannya, tidak hanya bangunan negara bangsanya (nations-state) tetapi juga lengkap dengan dasar filosofisnya (Philosofiche Gronslaag), dan rambu-rambu dasar bernegara yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Ketika datang berita Jepang sudah menyerah kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945, para pemuda mendesak kepada Sukarno untuk memproklamasikan Indonesia pada hari itu juga, tetapi Sukarno menolak, karena memiliki perhitungan politik tersendiri. Para pemuda terus mendesaknya, bahkan sempat ‘’menculiknya’’ ke Rengasdengklok, dan jawaban Bung Karno,”Silahkan proklamasikan sendiri, atau cari yang lain untuk memproklamasikannya, Sjahrir atau Tan Malaka atau siapapun yang mau” (Cindy Adam,1964).

Nyatanya tidak ada satu pun yang berani melakukan tindakan heroik itu. Ini membuktikan, Indonesia sangat membutuhkan Bung Karno. Tak mungkin Indonesia diproklamasikan oleh selain nama Sukarno, karena Proklamasi itu pasti tidak laku. Bung Karno lah yang yang merepresentasikan bangsa Indonesia, sehingga tatkala Proklamasi 17 Agustus itu diucapkan, kalimat pendeknya laksana magnit raksasa yang menyihir dan menggetarkan seluruh bumi Nusantara untuk mempersembahkan pengorbanan, berjihad mempertahankan kemerdekaan yang telah dinyatakan kepada seluruh penjuru dunia.

Oleh sebab itu, seribu patung di tengah kota, seribu nama jalan di kota-kota besar di Indonesia, seribu nama Bandara, atau penghargaan apa saja bagi Bung Karno tidak akan pernah lunas bagi bangsa ini untuk membalas jasa-jasanya. Mengenal, mengenang, menghormati Bung Karno adalah sebuah kewajiban bagi setiap bangsa Indonesia. Tetapi mengamalkan ajarannya, jauh lebih berharga.

Untuk memahami ajaran-ajarannya (Pancasila, Marhaenisme, Tri Sakti, Tri Logi, Gotongroyong, dan sebagainya) kita perlu mengenal metode berfikir Bung Karno. Bung Karno sebagai seorang generalis penyandang gelar Insinyur pertama di Indonesia dan memeperoleh 26 gelar Doktor Honoris Causa (Ilmu Politik, Ilmu Hukum, Ilmu Tauhid, Ilmu Kemasyarakatan, dsb) dari berabagai Universitas ternama di berbagai dunia, telah melewati batas-batas teori berfikir sekedar deduktif dan induktif, karena ketekunannya yang melakukan perantauan spiritual (Alfian,1982).

1.Metode Praksis

Yaitu metode yang memadukan antara aksi dan refleksi. Bung Karno melakukan aksi-aksi politik dengan berorganisasi sesama mahasiswa dan bergaul dengan masyarakat. Tindakan reflektif dilakukan dengan menghasilkan gagasan-gagasan besar ; Marhanisme (1926), Trilogi—kesadaran berbangsa, kemauan berbangsa, tindakan berbangsa (1928), “Indonesia Menggugat” (1931), “Mencapai Indonesia Merdeka” (1932), “Persatuan Islam” (1934), Pancasila (1945).

2. Metode Eklektif Sinkretis

Bung Karno sadar tidak ada pemikiran yang sempurna karena kebenaran bisa ada di mana-mana dan datang dari siapa saja. Maka ia melakukan tindakan eklektif, yaitu memilih yang terbaik dari berbagai aliran pemikiran yang ada di dunia. Pilihan ini dilakukan setelah berkelana dalam dunia intelektual, membaca buku- buku karangan tokoh-tokoh besar, membaca riwayat hidup para pemimpin-pemimpin besar dunia terdahulu seperti; Nabi Muhammad, Nabi Isa, George Washington, Thomas Jefferson, Karl Marx, Mahatma Gandi, Mazzini Jamaluddin Al-Afgani, Moh Abduh, serta berdialog intens dengan idola yang juga mertuanya HOS Tjokroaminoto, dan guru agamanya dari Bandung A. Hasan. Dari pengembaraan intelektual itu, Bung Karno tahun 1926 melahirkan gagasan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” yang menjadi cikal-bakal konsep “Nasakom” (Nasional-Agama-Komunis).

Di mata Bung Karno, Nasakom itu amanat Allah. Dalam sebuah pidatonya ia menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan Kom tersebut bukanlah komunisme dalam pengertian sempit (yang atheis), melainkan marxisme atau lebih tepat “sosialisme”. Kendati demikian Sukarno bersaksi, bahwa ,”Saya bukan komunis”. Dalam kasus 1965, ia tahu bahwa ada oknum PKI (Partai Komunis Indonesia) yang bersalah. Tetapi kalau ada tikus yang memakan kue di dalam rumah, jangan sampai rumah itu yang dibakar. (Asvi Warman Adam, 2003).

3. Optimistic Thinking

Untuk mencapai cita-citanya, juga untuk memotivasi rakyatnya, Bung Karno selalu berfikir optimistik. Ini sudah mulai tampak walaupun tahun 1920-an dunia baru saja megakhiri Perang Dunia I, dan penjajah Belanda sangat represif, tetapi sejak tahun 1926 Bung Karno sudah berani mencanangkan “Indonesia Merdeka”. Kepada rakyatnya ia selalu meminta; “Capailah bintang-bintang di langit”. Menirukan dalang wayang kulit yang menyandera sebuah negara sejahtera, Bung Karno juga memiliki keyakinan bahwa dengan kemerdekaan itu akan lahir negara Indonesia raya yang ”panjang punjung loh jinawi gemah ripah kerta tata raharja”.

Walaupun banyak pihak mengingatkan, bahwa agama dan komunis tidak bisa disatukan sampai kapan pun karena di dalamnya mengandung usur-unsur yang sangat berlawanan, tetapi Bung Karno optimistik bahwa agama dan nasionalis bisa bersatu asalkan,”Jangan ada agama phobi, jangan ada komunisme phobi!” (Di Bawah Bendera Rebvolusi, Jilid I). Ketika harus menyikapi sebuah kegagalan dalam perjuangan, ia tidak menyebut dengan kalimat gagal, tetapi dengan kalimat “pasang surut”. Bahkan ketika melihat peristiwa G 30 S/PKI yang melahirkan trauma sangat mendalam dari kedua belah pihak, Bung Karno masih menganggapnya hanya riak di tengah samudera dalam sejarah perjuangan bangsa yang sangat panjang.

4. Metode Dialektif

Metode ini mengasumsikan bahwa setiap thesa/tesis (kebenaran) akan melahirkan antithesa/antithesis (perlawanan atas kebenaran). Pertarungan antara thesa dengan antithesa akan melahirkan sinthesa. Sinthesa akan menjadi kebenaran baru, yang kembali akan memperoleh perlawanan hingga melahirkan dan terus melahirkan kebenaran baru. Dalam khasanah politik, setiap aksi akan melahirkan reaksi, yang pada akhirnya akan terjadi kolaborasi/kooperasi.

Sesungguhnya, dalam perspektif ini Pancasila merupakan sinthesa dari pertarungan ideologi-ideologi besar saat itu utamanya antara Kapitalisme dengan Komunisme. Mungkin sejarah bangsa akan lain, apabila sejak dulu dianggap sebagai sinthesa final, tanpa mengurai kembali pada unsur-unsur nasional-agama-komunisme. Pada tahun 1960 menawarkan agar nilai-nilai Pancasila menjadi dasar piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam sebuah pidato di depan Sidang Umum PBB dengan judul “To Build The World A New”.

Dengan menggunakan metode ini kita melihat praktek Bung Karno; ketika Pemilu 1955 gagal melahirkan konstitusi Bung Karno melakukan tahun 1959 melakukan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945. Ketika sparatisme bermunculan di saat ia punya program besar bernama revolusi sosial tetapi tak ada dukungan yang memadai baik dari partai-partai politik maupun militer, Bung Karno mencari dukungan dari PKI. Ketika Amerika memusuhi Indonesia, Bung Karno bereaksi dengan mencari kekuatan baru Rusia dan China.

Penuttup

Bung Karno adalah manusia, yang tidak luput dari salah dan alpa. Tetapi sebagai manusia, jelas ia bukan manusia biasa. Banyak pemikirannya yang sampai sekarang masih relevan. Dulu ia serukan”Revolusi belum selesai”, banyak oang menolaknya, tetapi tahun 1998 terjadi “Reformasi Politik” yang tidak lain sebuah revolusi kecil.

Dulu Bung Karno menyerukan perlunya “nation and character building”, orang melecehkannya. Sekarang ketika globalisasi menggerus budaya nasional, barulah para pemimpin berteriak perlu kembali pada kepribadian bangsa, perlu pendidikan budi pekerti, perlu akhlakul karimah, dan sebagainya. Dulu Bung Karno menyampaikan ajaran Tri Sakti yaitu,” Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, kepribadian di bidang kebudayaan”, sekarang sangat terasa relevansinya ketika negara-negara besar dengan kekuatan ekonominya menguasai sendi-sendi kehidupan bangsa, bahkan sampai ke ranah private. Bung Karno sudah melihat ada neo-kolonialisme yang akan kembali menjajah Indonesia.

Dan ketika tahun 1964 Bung Karno menyerukan “Ganyang Malaysia”, banyak orang menganggap Bung Karno hanya mengalihkan perhatian atas kegagalan membangun ekonomi dalam negeri. Tetapi sekarang baru orang sadar, bahwa karena perilaku politik pemerintahnya, Malaysia memang masih layak untuk diganyang!

Jadi, insya Allah pemikiran dan ajaran Bung Karno akan tetap relevan sampai kapanpun. Sampai kapanpun.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar